Sabtu, 09 Juni 2012

Lirik Lagu Ibu - Rafly ( Ost. Hafalan Shalat Delisa )

IBU
Ciptaan : Rafli Kaden
OST : Hafalan Surat Delisa



Lirik Lagu Ibu - Rafly (Ost. Hafalan Shalat Delisa) | Ketika saya pertama kali mendengarkan lagu ini rasanya langsung ingin berjumpa sama ibu, begitulah betapa liriknya sangat menyentuh. Lagu Ibu ialah lagu yang menjadi Ost Hafalan shalat Delisa, lagu ini dinyanyikan oleh Rafly yaitu seorang penyanyi asal Aceh.

Oke buat Anda yang sedang mencari Lirik lagu ibu langsung aja lihat dibawah ini :
--------------------------------------------------------------------------------

Lembut kukenang, kasihmu ibu
di dalam hati ku kini menanggung rindu
kau tabur kasih seumur masa
bergetar syahdu, ooh di dalam nadiku

Sembilan bulan ku dalam rahimmu
bersusah payah, oh ibu jaga diriku
sakit dan lelah tak kau hiraukan
demi diriku, oh ibu buah hatimu

Tiada ku mampu, membalas jasamu
hanyalah do'a oh di setiap waktu
oh ibu tak henti kuharapkan do'amu (2x)
mengalir di setiap nafasku (2x)

Ibuuuuuuuuuuuuuu........... (3x)

Lembut kukenang, kasihmu ibu
di dalam hati ku kini menanggung rindu
engkau tabur kasih seumur masa
bergetar syahdu oh di dalam nadiku

Indah bercanda denganmu ibu
di dalam hati ku kini slalu merindu
sakit dan lelah tak kau hiraukan
demi diriku, oh ibu buah hatimu

Tiada ku mampu, membalas jasamu
hanyalah do'a oh di setiap waktu
oh ibu tak henti kuharapkan doamu (2x)
mengalir di setiap nafasku (2x)

Ibuuuuuuuuuu........ (3x)

“Allahummaghfirlii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa”

[Artinya : Ya Alloh ampunilah dosa-dosa kedua orang tuaku, Kasihilah mereka, laksana mereka mengasihi diriku semenjak kecilku]

Baca Selengkapnya......

Skripsi...Oh...Skripsi....




Membuat mata tak nyenyak tidur. Membuat pikiran tak tenang jika selalu teringat. Skripsi. Huff…Semua mahasiswa tingkat atas pasti juga merasakan rasa ini. Setelah menyelesaikan seluruh mata kuliah, tiba saatnya ke tahap akhir. Skripsi. Kenapa si harus ada skripsi? Kenapa juga musti lulus skripsi dan bisa mempertangungjawabkannnya, baru bisa dikatakan sarjana?? Kenapa tidak disuruh buat cerpen aja tu mahasiswa???


Kalau saja kuliah itu bukan amanah orang tua, mungkin, (MUNGKIN), aku tak mau merampungkan skripsiku.Malessssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssss banget. Beraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat banget mau mulainya. Bingung. Mau mulai dari mana???????? Hffffffff…. Susah bener ya mau dapat gelar S.Pd aja.

Kalau saja bukan karena Bapak dan Mamak yang udah banting tulang, jemur kulit n merebus perasaan, mungkin sudah aku kemas semua buku-buku kuliahku. Ku masukkan ke dalam kotak dan ku lem pakai lakban, baru simpan di gudang. Lalu sambil melambaikan tangan, aku akan berkata, “selamat tinggal sahabat.” Kemudian aku akan asyik dengan dunia baruku.

Aku yakin, aku akan tetap dapat makan tanpa S.Pd. Aku akan tetap dapat pekerjaan. Dan yang pasti, aku juga akan bertemu dengan jodohku, dengan atau tanpa S.Pd. Gelar bukan segala-galanya bagiku. Yang penting aku terus belajar dan berusaha, pasti akan ada jalan menuju kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan itu tidak diukur dari banyaknya gelar akademis yang kita dapat????

Banyak kok, orang yang bergelar sarjana tidak bahagia karena di usiaya yang kepala tiga, ia masih belum juga menemukan pendamping hidupnya. Yang bergelar master tidak bahagia karena telah puluhan tahun menikah belum juga ada tangis bayi di rumahnya. Dan ada juga doctor maupun professor yang sudah mencapai tingkat pendidikan akademis tertinggi, tidak bahagia. Ia terlalu sibuk dengan karirnya sehingga tidak punya waktu bagi keluarga. Tu kan. Gak semua “orang pintar” bahagia.

Ada juga ni, orang yang sederhana, tanpa gelar apa pun, ia bisa bahagia luar biasa. Di usianya yang cukup, ia menemukan pendamping hidupnya, kemudian ia mendapat pekerjaan sesuai dengan keinginannya, tak lama setelah pernikahan, ia dikarunia seorang bayi mungil yang lucu sangat. Rumahnya sederhana, namun suami/istrinya setia. Penghasilannya tak seberapa, tapi masih bisa menafkahi orang tua dan sedekah ke tetangga sekitar, bahkan bisa membuka lapangan pekerjaan untuk anak-anak putus sekolah, sehingga anak-anak putus sekolah tersebut bisa kembali sekolah dan menjadi anak asuhnya. Sholatnya selalu berjamaah, dzikir pagi dan petangnya juga tak pernah lewat. Tilawah dan hafalannya selalu nambah. Anak-anak tumbuh dengan sehat dan cerdas-cerdas. Sekolah di sekolah islam yang bagus. Pokoknya sip lah. Tu kan? Bisa bahagia juga kan?

Kalau tanpa gelar sarjana saja kita bisa bahagia, trus ngapain sih, musti berpusing-pusing ria ngerjain skripsi. Sampai-sampai badan yang dulunya 49 kg, sekarang tinggal 42 kg? sampai-sampai begadang semalam suntuk? Pusiiiiing….
Hfffffffffffffffffff

Tapi kalau aku ingat orang tuaku, bapak dan mamakku, aku jadi mikir, apa iya aku tega bilang sama mereka kalau aku tidak bisa menyelesaikan studiku? Apa iya aku bisa terus mencari alasan kenapa aku belum juga diwisuda, sementara teman2 sekampungku yang juga kuliah di fakultas yang sama sudah memajang foto wisudanya dan sekarang sudah menjadi guru honorer? Apa iya aku masih bisa berdalih, lagi sibuk ngurus A, lagi sibuk ngajar, lagi sibuk yang lain???? Atau, apa aku masih bisa menjawab, “Insya Allah Juli kalau gak September mak.” Sementara 6 bulan lalu, aku bilang, “Insya Allah Maret.” Apa iya aku masih tega bilang ke mereka, “gak jadi Juli atau Septembar mak, Insya Allah November.” Hffffffffffffffffffffffffffffffffffffffffffffffffff….. gak tega…………

“Kok lama, si ndok? Temenmu udah pada selesai kok kamu belum?’’ “Iya, mak…”
Huhuhu…. Ma’af ya mak…..

Aku tahu, mamak ingin segera melihat anaknya jadi sarjana. Fotonya dipajang di dinding rumah yang kusam. Gak papa lah, dindingnya kusam, yang penting ada foto anaknya di wisuda. Lalu mereka akan berbangga dan terus menyunggingkan senyuman ketika bertemu dengan karib kerabatnya. Dengan penuh syukur dan bangga ia akan berkata, “Iya, Alhamdulillah udah wisuda.”

Huhuhu… senyumnya itu lo. Apa iya aku sanggup terus-terusan menunda senyum itu?
Setelah puluhan tahun ia membersarkan kita, dan di lima tahun terakhir ia harus bekerja luar biasa ekstra untuk kuliah kita, dan itu tidak akan pernah kita bayar. Toh, mereka juga tidak meminta bayar atau ganti rugi. Hanya senyum itu yang mereka harapkan. Hanya kata sarjana itu yang mereka idamkan. Bagi mereka, orang tua yang berhasil adalah orang tua yang bisa menyekolahkan anaknya sampai tinggi, meskipun untuk makan sehari-hari saja mereka susah.

Kalau aku gak butuh kata sarjana, aku akan hadiahkan ia untuk sepasang malaikat dalam hidupku yang tercinta. Kalau aku tak butuh toga, anggaplah aku memakainya demi melihat senyum kesyukuran terkembang di pipi keriputnya.

Mamak, bapak. Ma’af ya.. selalu menunda senyum itu…. Jangan marahi aku. Jangan kesal padaku. Ku mohon, tetap sayangi dan ridhio aku. Kini anakmu ini sedang tertatih melangkah, mak, pak. Aku janji, aku tidak lagi menunda senyum itu. Secepatnya ia akan tersungging di wajah malaikatmu. Doakan aku mak, pak. I love You……..

SEMANGAT SKRIPSI…………….!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Baca Selengkapnya......