Selasa, 31 Juli 2012

Titip Rinduku, Ayah...

Ayah….
Kukabarkan pada awan
Anakmu kini berguru pada matahari
Menempa diri
Mematangkan kemandirian
Memacu langkah
Menerobos puing-puing peradaban

Ayah….
Aku belajar menangis dan mengadu
Bersepi-sepi dengan kunang-kunang
Pada butir-bitir tasbih berserakan
Kubelajar mengeja kebermaknaan.

Aku bermimpi, Yah….
Kau hadir menyapa dan bercerita
Tentang dahaga, tentang lapar
Tentang sakit menguliti jiwa
Tentang kekuatan, tentang penentangan
Tentang kepasrahan, tentang kepongahan

Tapi, Yah….
Aku belajar tentang teguh: berdiri kokoh nan gagah
bangkit dan maju menerjang badai, melepas belenggu.
Kakiku luka menapak kerikil
Dadaku sesak menahan perih
Dan air mata tak menggenang lagi

Ayah….
Kudengar sayup dan sorak sorai anak kecil
Bermain riang di halaman
Kukenang masa kecil bersama adik-adik di kampuang sana
Berlari dalam kebimbangan, mengadu keangkuhan
Tentang gundu, ketapel, dan layangan
Tentang pistol-pistolan, meriam gema di penghujung bulan suci,

Duh, Yah….
Aku rindu gorengan special racikan Ibu
Pula bubur manis bersantan gula
Masakan Ibu, Yah…. Lezat tiada dua.

Ayah….
Kukabarkan pada pelangi
Aku kini tetap bernyanyi walau jiwa tersayat luka
Memendam rindu pada pelukmu
Binar mata dan kehangatan cintamu
Aku belajar memungut puing-puing kerinduan.

Duh, Yah….
Ebiet mengguru persembah syair kepada Ayah
Maka, kutoreh dalam bait sajak puisi memujamu.

Ayah….
Kau tegar, tak pernah tangis tumpah dalam kelopak
Kau tangguh, tak pernah peluh memendam rasa
Kau perkasa, tak pernah payah memikul beban
Kau gagah laksamana Yusuf:
Di mata Ibu yang cemerlang
Di mata adik-adikku memendam cita
Di mata mungilku yang gersang.
Rinduku memuncak.

Duh, Yah….
Kapankah (lagi) rembulan sama kita bangunkan
Dalam tapak suci mematahkan kesunyian
Menemani Malaikat-Malaikat suci ke surau?

Duh, Yah….
Kapankah (lagi) kalam-kalam suci terlantun indah di bilik kita
Dan kau bariskan dalam teliti kemapanan mengeja Hijaiyah?

Ayah….
Anakmu pongah
Anakmu angkuh
Tapi, Anakmu mengikat janji nan mendalam di pengadilan manusia
Kelak, di hamparan telaga penuh peluh tanpa kesah dan pengharapan
Betapa lukanya jiwa bilamana tahu
Bekal tak sampai seujung kuku.

Ayah….
Ketika kabar kepiluan menusuk hati
Aku meminta makbul kepada Tuhan Muhammad
Dan aku berangan menjemput ayah
Tapi langkahku gontai apa daya

Duh, Yah….
Tak ingin rasa, pena menoreh riwayat kepulanganku
Sebab Tuhan menawar singgasana, pada kesabaran
Tersebab, anakmu kini memayung kegalauan
Di sini, Yah, di tanah orang nan jauh
Anakmu terlanjur rindu dan berharap kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan poskan komentar anda, hatur nuhun sebelumnya .. :)